![]() |
Menteri Kebudayaan Indonesia. Foto: Kembud |
Pemerintah Republik Indonesia resmi menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN), menandai sebuah langkah penting dalam pembangunan nasional yang berakar kuat pada warisan budaya.
Keputusan yang diumumkan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon ini tidak hanya mencerminkan upaya pelestarian budaya, tetapi juga strategi memperkuat identitas kolektif dan kebanggaan nasional di tengah dinamika globalisasi yang kian menggerus nilai-nilai lokal.
Penetapan ini bukan sebatas agenda seremoni tahunan. Lebih dari itu, 17 Oktober dipilih dengan pertimbangan historis dan filosofis yang kuat—merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang menetapkan Lambang Negara Garuda Pancasila dan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai simbol resmi Indonesia.
“Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman,” tegas Fadli Zon, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Selasa (15/7/2025).
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) Puji Karyanto SS MHum mengatakan penetapan Hari Kebudayaan merupakan langkah penting yang sudah lama diusulkan para pelaku budaya. Ia menilai, kehadiran hari tersebut bukan sekadar simbolik, melainkan bagian dari strategi besar pembangunan bangsa.
“Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, tentu, kami para akademisi yang bergerak dalam bidang kebudayaan menganggap penting adanya hari kebudayaan karena bagaimanapun kebudayaan merupakan salah satu pilar dalam pembangunan yang harus diperhatikan untuk kemajuan bangsa ini kedepannya.”
Persoalan tidak berhenti pada pengakuan pentingnya kebudayaan. Menurut Puji, yang lebih krusial adalah bagaimana hari tersebut ditetapkan, dan apakah benar-benar mencerminkan konsensus nasional. Sebelumnya, telah terdapat beberapa usulan terkait tanggal peringatan Hari Kebudayaan, yang masing-masing membawa narasi sejarah hingga akhirnya ditetapkan pada 17 Oktober bertepatan ulang tahun Presiden Prabowo Subianto.
“Di situlah letak persoalannya. Hari kebudayaan itu penting karena bangsa yang maju adalah bangsa yang jelas strategi kebudayaannya. Oleh karena itu, harus ada blue print. Butuh kajian akademik yang mendalam, tuntas, dan membutuhkan partisipasi publik sehingga penetapan hari kebudayaan menjadi konsensus nasional yang tidak menimbulkan polemik lagi,” jelasnya.
Penetapan tanggal juga disebut berasal dari usulan sejumlah seniman dan maestro budaya dari Yogyakarta. Meski begitu, menurut Puji, partisipasi publik yang disebut itu tetap perlu dibuktikan dan didokumentasikan secara terbuka.
“Kalau itu sudah dilakukan artinya, ya, sudah benar jalannya, termasuk tentu saja dengan pemangku kepentingan lainnya. Dalam hal ini DPR komisi X yang menaungi bidang itu, mitra menteri kebudayaan, kan juga harus terlibat,” ucap Puji.
Sikap publik yang skeptis terhadap pemilihan tanggal, menurutnya, wajar. Beberapa di antaranya menyayangkan bahkan menilai adanya muatan politis. Terkait hal ini, Pakar Kesusastraan Indonesia Kontemporer itu menekankan pentingnya transparansi dan argumentasi yang solid dari pemerintah.
“Melihat ini, pertama, perlu kita lihat goodwill-nya pemerintah untuk memajukan kebudayaan. Jadi mudah-mudahan penetapan hari kebudayaan itu adalah bagian dari yang tadinya goodwill menjadi good action. Kedua, polemik yang ada menjadi kewajiban dan tugas Menteri Kebudayaan untuk memberikan penjelasan ke publik supaya tidak terjadi polemik tentang dasar mengapa yang dipilih kok tanggal yang kebetulan berbarengan dengan ultah presiden kita. Kapan waktunya, mestinya kan ada kertas-kertas kerja dan dokumentasi yang dapat dijelaskan. Sehingga nanti kalau terjadi pergantian rezim, tidak akan direvisi. Yang mempertanyakan juga tidak salah karena mungkin yang lain tidak mendengar, saya sendiri juga tidak mendengar sebelumnya bahwa akan ada keputusan ini.”
Di tengah ketegangan polemik, Puji berharap penetapan Hari Kebudayaan tidak sekadar agenda seremonial tahunan. Ia mendorong agar peringatan ini menjadi momentum untuk menjalankan seluruh amanah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017 dan berbagai regulasi lain yang sudah sah sebelumnya.
Ia menjelaskan bahwa proses menjadi Indonesia adalah proses panjang yang masih terus berlangsung. Dengan latar belakang budaya lokal, Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun kebudayaan nasional yang inklusif, termasuk melalui kebijakan yang mendukung diplomasi budaya, ekonomi kreatif, kuliner, hingga industri film.
“Hari kebudayaan hanyalah salah satu tools untuk aware terhadap budaya sendiri. Kebudayaan merupakan istilah yang sangat luas. Di era digital ini strategi untuk pemajuan dan pengembangan budaya bisa menggunakan beragam cara. Mari kita gali budaya kita sendiri untuk tidak hanya menerima, tapi juga menyebar ke forum-forum internasional,” pungkasnya.
Sumber: https://unair.ac.id/
Posting Komentar