![]() |
Ilustrasi dari meta AI |
Di sebuah dusun di bawah kaki gunung, langit belum sepenuhnya cerah saat seorang ibu tua membuka jendela rumahnya. Ia menghela napas, lalu memandangi jalan tanah yang mulai ramai oleh warga yang mengenakan kain sarung dan mukena. Mereka melangkah pelan menuju masjid, membawa harapan yang tak terlihat tapi terasa—seperti angin yang bergerak tanpa suara. Hari itu, Rabu terakhir bulan Safar. Hari yang oleh orang-orang tua disebut: Rebo Wekasan.
Jejak Waktu dalam Tradisi
Rebo Wekasan bukan sekadar penanggalan dalam kalender Hijriah. Ia adalah serpih sejarah, mitos, dan doa-doa yang berjejak di banyak daerah di Indonesia—terutama di Jawa, Madura, dan sebagian Sumatera. Dalam bahasa Jawa, "Rebo" berarti Rabu, dan "Wekasan" berarti terakhir. Maka, Rebo Wekasan adalah Rabu terakhir bulan Safar, bulan kedua dalam sistem penanggalan Islam.
Dalam tradisi masyarakat, hari ini dianggap penuh dengan potensi musibah. Konon, pada hari itulah, Allah menurunkan 320 ribu macam bala (bencana) ke bumi—begitu keyakinan yang berkembang dari zaman ke zaman. Maka, umat pun bersiap: dengan doa, dzikir, dan berbagai ritual tolak bala.
Benar atau tidak? Tentu saja ini perkara iman dan tradisi, bukan soal hitungan statistik. Namun bukankah keyakinan manusia sering lahir bukan dari fakta, tapi dari rasa?
Safar, Bulan yang Sunyi dan Dicurigai
Dalam sejarah Islam klasik, bulan Safar kerap dianggap sebagai bulan yang "berat". Banyak masyarakat Arab kuno menghindari pernikahan atau perjalanan jauh di bulan ini. Mitos tentang bala dan kesialan di bulan Safar kemudian hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat Muslim tradisional, termasuk di Nusantara.
Namun di Indonesia, keyakinan itu tidak tinggal sebagai ketakutan semata. Ia menjelma menjadi tradisi yang syarat makna: memohon perlindungan, memperkuat solidaritas, membersihkan batin, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Laut, Doa, dan Tradisi yang Bertahan
Di pesisir utara Jawa, terutama di Jepara, Rebo Wekasan dirayakan dengan tradisi Baratan. Orang-orang akan berbondong-bondong menggelar doa bersama. Lampu-lampu diterangi, ayat-ayat suci dibacakan, dan doa-doa dilantunkan agar terhindar dari marabahaya.
Sementara di Cirebon, warga beramai-ramai menuju laut. Mereka mandi bersama di pantai sebagai bentuk pensucian diri, dikenal dengan nama Ngirab. Air laut yang asin dianggap bisa menyerap aura buruk dan membawa ketenangan spiritual.
Di Banyuwangi, Rebo Wekasan menjadi momen bagi masyarakat untuk menggelar tahlilan massal dan berbagi makanan, sebagai bentuk sedekah dan solidaritas sosial.
Di Madura, Rebo Wekasan masih hidup dalam kesederhanaan. Orang-orang berkumpul di masjid. Mereka salat hajat, membaca surat Yasin tiga kali, dan membaca doa tolak bala yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Meski bentuknya berbeda, benang merahnya tetap sama: doa yang disulam dengan harap. Seakan manusia sadar bahwa ada hal-hal di luar kuasa akal—yang hanya bisa dijangkau dengan pasrah.
Antara Takhayul dan Kearifan Lokal
Tak semua orang menyambut Rebo Wekasan dengan hangat. Sebagian ulama mengkritisi tradisi ini sebagai bentuk takhayul yang tidak memiliki landasan syariat yang kuat. Mereka berargumen bahwa menisbatkan hari tertentu sebagai hari turunnya bala adalah bentuk bid’ah, karena tidak ditemukan dalam hadis sahih.
Namun di sisi lain, para budayawan dan tokoh Nahdlatul Ulama melihatnya dari sudut yang berbeda. Tradisi semacam Rebo Wekasan dianggap sebagai wujud dari Islam kultural, tempat agama menyatu dengan budaya lokal. Selama ritualnya tidak mengandung syirik dan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka tradisi ini sah-sah saja untuk dilestarikan.
Seperti kata Gus Dur, "Islam datang bukan untuk menghapus budaya, tapi untuk menyempurnakannya." Dalam Rebo Wekasan, kita bisa melihat bagaimana Islam masuk ke Indonesia tidak dengan pedang, tapi dengan doa dan budaya.
Generasi Baru dan Tradisi yang Melemah
Sayangnya, di banyak tempat, Rebo Wekasan mulai kehilangan gaung. Anak-anak muda lebih mengenal tanggal-tanggal promo marketplace ketimbang hari-hari tradisional yang diwariskan leluhur. Gadget dan internet menenggelamkan kisah-kisah rakyat yang dulu hidup dari mulut ke mulut.
Namun tidak semuanya suram. Di beberapa komunitas budaya, Rebo Wekasan justru mulai dihidupkan kembali dalam bentuk yang lebih segar. Festival budaya, konten edukatif di media sosial, hingga pelibatan seniman lokal dalam peringatan hari ini mulai menggeliat. Rebo Wekasan tidak harus kaku dan mistik. Ia bisa menjadi ruang refleksi kolektif di tengah dunia yang makin bising.
Rebo Wekasan Hari Ini: Sebuah Renungan
Lebih dari soal musibah atau takhayul, Rebo Wekasan bisa dimaknai sebagai hari jeda. Di tengah kesibukan hidup, ia mengingatkan bahwa manusia lemah dan perlu perlindungan. Di tengah individualisme zaman, ia menghadirkan kebersamaan lewat doa. Dan di tengah keangkuhan ilmu pengetahuan, ia mengajak untuk tunduk—bahwa ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan logika.
Setelah doa selesai, seorang kakek di dusun itu menyapu wajahnya dengan tangan. Ia menatap langit dan tersenyum kecil. “Mugia sing salamet kabeh,” bisiknya pelan. Semoga semua selamat.
Doa-doa itu mengapung ke langit, seperti asap dupa yang mengepul pelan. Tak terlihat, tapi dirasa. Tak terdengar, tapi diyakini. Itulah Rebo Wekasan.
Posting Komentar